SURYA.CO.ID, JEMBER – SSR Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (Yabhysa) menggelar pertemuan bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jember, Selasa (25/6/2024)

Kegiatan tersebut, untuk pertemuan validasi data layanan masyarakat dan kesehatan tiap triwulan untuk program tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Jember, Jawa Timur (Jatim) pada 2024.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jember dr Rita Wahyuningsih mengatakan, selama 2024 ini terdapat 7600-an pasien yang diduga terpapar TBC.

“Namun dari 7600 an itu, yang dinyatakan ada 1141 pasien yang positif terpapar TBC,” ujar dr Rita Wahyuningsih.

Menurutnya, tidak semua pasien yang positif TBC itu menjalani pengobatan di fasilitas kesehatan pemerintah. Sebab berdasarkan data di atas , hanya 913 pasien yang memperoleh perawatan medis.

“Jadi masih kisaran 80 pasien positif TBC yang menjalani pengobatan. Ini yang jadi tantangan bagi bidang pengendalian penyakit di Kabupaten Jember,” kata dr Rita.

Ia menguraikan, rata-rata yang terpapar virus Mycobacterium tuberculosis adalah pasien usia dewasa. Sebab mereka mobilitasnya tinggi di luar rumah.

“Karena usia produktif, ada yang kerja di kantor, ada yang kerja di luaran. Akhirnya ketemu orang-orang yang berisiko TBC tinggi, tapi tidak terdiagnosa akhirnya tertular,” urai dr Rita.

Sementara untuk pasien anak yang terpapar TBC, dr Rita menduga mereka tertular anggota keluarga dalam satu rumah.

“Anak itu berinteraksi dengan penderita tinggi dari orang dewasa. Seperti itu,” ucap dr Rita.

Ia mengatakan, kalau gejala penyakit ini paling mudah dideteksi pasien dewasa. Sebab hal itu ditandai dengan batuk berkepanjangan lebih dari dua minggu.

“Serta penurunan berat badan dan berkurangnya nafsu makan itu untuk dewasa. Sementara untuk anak ini agak sulit dideteksi, karena anak yang terpapar TBC gejalanya itu batuk, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa bagian kulit,” ulas dr Rita.

Sebaran kasus itu, lanjut dr Rita, berada di tiga kecamatan Kabupaten Jember. Bahkan, lokasi tersebut masuk zona merah.

“Kenapa bisa merah, ada banyak faktor. Bisa karena penularannya atau bisa kemudahan aksesnya di fasilitas kesehatan dan pemahaman masyarakatnya mau berobat, sehingga ditemukan dengan cepat,” jelas dr Rita.Sementara, Manajer Kasus Komunitas Yabhysa Jember Yulanda Irma Tiara mengatakan, anak–anak merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit ini, dan penanganannya memerlukan pendekatan khusus secara intensif.

“Kegiatan pekan skrining tuberkulosis serentak ini dilaksanakan di 30 kecamatan di Kabupaten Jember oleh Yabhysa Jember. Jumlah capaian terapi pencegahan tuberkulosis pada tahun 2023 sebanyak 365 balita. Dan data IK terapi pencegahan tuberkulosis tahun 2024 mencapai 352 balita,” katanya.

Gejalanya terhadap pasien anak-anak, ditandai batuk lebih dari dua minggu.

Selain itu, tambah Yulanda, mereka berkeringat saat malam hari tanpa gejala dan sesak nafas.

Yulan juga menjelaskan dalam upaya pencegahan penyakit menular ini, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ini memiliki 150 kader yang tersebar di Kabupaten Jember.

“Jadi per desa ada satu kader. Selain ditugaskan menemukan kasus TBC, mereka juga diminta melakukan pendampingan terhadap pasien pasien TBC,” paparnya.

Yulanda mengatakan, ini ujung tombak program Eliminasi TBC 2030 di Kabupaten Jember adalah para kader Yabhysa di desa-desa itu. Sebab mereka yang berkunjung ke rumah penderita.

“Kader-kader yang melakukan kunjungan ke rumah dan memberikan edukasi ke masyarakat bersama penanggung jawab program TBC di Puskesmas,” ulas Yulan.

Beberapa kendala kader Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini saat melakukan investigasi kontak penularan TBC di rumah pasien, mereka tidak disambut hangat oleh keluarga penyintas.

“Ada yang benar-benar tidak mau dikunjungi oleh kader, ada yang mau dikunjungi, tapi kami tidak boleh berkeliling ke rumah tetangganya,” ungkapnya.

Mengingat, lanjut Yulan, sebagian pasien itu malu ketika diketahui lingkungannya kalau terpapar penyakit TBC. Sehingga mereka melarang kader Yabhysa berkunjung di tetangga mereka.

“Mereka takut kami akan memberitakan pasien ini sakit ini, sakit itu. Jadi masih ada yang seperti itu,” ungkap Yulan.

Kendala lain saat melakukan investigasi, Yulan mengutarakan ketika melakukan tes dahak terhadap pasien saat di puskesmas. Hal itu juga menyulitkan proses diagnosa penyakit.

“Ada yang dikasih, tapi dahaknya sedikit, akhirnya sulit dites. Padahal sudah terlanjur dibawa ke puskesmas. Sementara kalau penderitanya adalah balita, kendalanya orang tuanya mencoba menutupi dari kami, dengan alasan a